travelling

Life is Wonderful

Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Namun, bagi seseorang yang sedang mengalami, pasti sulit menjalaninya. Ini bukan asumsi belaka. Nyatanya, menghadapi kegagalan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Sobat, dalam hidup ini kita tidak akan pernah lepas dari dua hal; keberhasilan dan kegagalan. Tidak ada manusia yang terus menerus berhasil dengan apa yang mereka usahakan, dan tidak mungkin seseorang akan terus menerus mengalami kegagalan atas setiap hal yang mereka ikhtiarkan.

Hidup seperti roda yang berputar, kadang kita berada di atas, kadang berada di bawah. Keberhasilan atau kegagalan adalah hal yang wajar. Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati sebab kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang beriman. Jika kamu (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)…” [Q.S. Ali Imran (3): 139-140]

Ayat di atas menggambarkan bahwa manusia—kita—merupakan makhluk yang paling tinggi derajatnya, asal memenuhi satu syarat; kita termasuk orang beriman. Ayat selanjutnya menjabarkan bahwa Allah senantiasa mempergilirkan segala sesuatu di dunia ini. Baik kejayaan dan kehancuran, ataupun kesuksesan dan kegagalan. Allah Mahaadil atas segala ketetapannya.

Fokus pada Kelebihan

Menurut Motivator dan Direktur Setia Training Center, Kak Setia Furqon Kholid, setiap orang punya kekurangan masing-masing. Jadi, jangan hanya fokus pada kekurangan itu, kita harus fokus untuk mensyukuri segala kelebihan yang kita miliki. “Sobat punya jerawat, nggak? Kenapa kita sering kali terlalu fokus sama satu jerawat di muka? Padahal ada banyak bagian di muka yang tanpa jerawat, harusnya kita syukuri,” ucapnya.

Satu hal terpenting yang harus kita pahami, Sobat, dalam hidup ini, Allah telah membuat ketetapan yang sedemikian rupa. Kegagalan selalu diiringi dengan keberhasilan, kekurangan selalu diiringi kengan kelebihan. Jika memang saat ini hidup kita sedang ‘tidak baik’, yakinlah suatu saat semuanya akan berubah. Atau setidaknya, kita bisa mengingat-ingat bahwa di masa lalu kita pernah merasakan hidup yang lebih baik. Ini bukti bahwa Allah selalu mempergilirkan segala sesuatu. Ada saatnya kita bahagia, ada saatnya kita berduka—dan sebenarnya ini soal perspektif saja.

Sesuatu yang membuat kita bersedih, hanya bisa membuat sedih jika kita memandangangnya dengan sudut pandang yang sedih. Padahal, bisa jadi kesedihan itu menyimpan satu kebahagiaan, jika kita mampu menemukan celah sisi yang bisa membuat kita bahagia.

Misalnya, suatu waktu seorang remaja lulusan SMP tidak diterima di SMA favorit di kotanya. Kini ia masuk di sebuah SMA boarding school. Jika Sobat memandangnya dengan sudut pandang sedih, tentu tidak masuk SMA favorit adalah sesuatu yang menyedihkan. Butuh waktu lama untuk move on dari kegagalan tersebut. Namun, kalau Sobat mampu mengarahkan pandangan pada sisi lain—sisi positif yang penuh kebahagiaan, hal ini adalah berkah yang luar biasa. Masuk asrama berarti kita bisa lebih mandiri. Selain itu, pasti kita bisa lebih menjaga diri dari pergaulan yang kian hari kian semrawut. Bisa jadi, kalau kita sekolah di SMA favorit tadi, kita tak bisa mandiri dan pergaulan jadi kacau.

Kebahagiaan dan kesedihan, sejatinya adalah soal sudut pandang. Pada dasarnya, Allah selalu menempatkan hambanya pada posisi yang paling tepat. Hidup ini sesungguhnya benar-benar indah dan luar biasa untuk kita semua. Life is wonderful.

Jangan Larut dalam Kesedihan

Untuk mencapai kebahagiaan di sela-sela semua kegagalan yang dialami, memang bukan perkara mudah. Apalagi bagi seorang remaja seperti Sobat.

Menurut Elizabeth B. Hurlock, dalam buku Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil, sebelum akhirnya ia mampu menahan diri dan mampu mengekspresikan emosi secara tepat sesuai situasi dan kondisi lingkungan sehingga reaksi emosinya menjadi lebih stabil.

Dalam kondisi emosi yang masih labil ini, jika remaja mengalami suatu hal yang tidak sesuai dengan keinginanannya, sangat wajar jika muncul rasa sedih yang mendalam. Namun demikian, kesedihan tersebut tidak boleh sampai berlarut-larut, sebab hal ini justru hanya akan memperburuk keadaan.

Kesedihan sangat lekat dengan kecemasan, kegelisahan, frustasi, kedengkian, dendam, pemberontakan, dan rasa takut. Kondisi ini menurut Dr. Karl Maninger, seorang spesialis penyakit jiwa sekaligus penulis buku Man Againts Himself, dapat menghancurkan tubuh dan otak kita sendiri.

Dalam Alquran Surah At-Taubah ayat 40 disebutkan, “…Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita…”

Kita tak perlu berlarut-larut dalam kesedihan, sebab segala hal yang terjadi pada kita adalah buah dari ‘skenario’ Allah untuk hambanya, dan Allah selalu bersama dengan kita. Jadi sudah pasti, ada ‘jalan cerita’ lain yang telah dituliskan oleh-Nya Yang Mahakuasa.

Lagi pula, sebagaimana firman Allah ini, “Allah tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuannya…” [Q.S. Al-Baqarah (2): 286] Tentunya semua yang terjadi pada kita telah disesuaikan dengan kemampuan yang kita miliki. Jika tampak berat, berarti Allah tahu bahwa kita memiliki kekuatan yang lebih untuk melewatinya.

Bangkit dari Kegagalan

Kalau menurut Kak Zaky Ahmad Rivai, ustaz muda yang pernah bermain dalam film Tausiyah Cinta, ada beberapa hal yang bisa dilakukan remaja supaya bisa segera bangkit dari kesedihan ketika mengalami kegagalan. Cara ini tentu saja tidak bisa diterapkan secara instan, butuh suatu proses untuk benar-benar menguasainya.

“Yang pasti harus dilatih ya, setidaknya remaja mesti terbiasa untuk berkompetisi secara sehat,” ungkapnya.

Perlombaan dan segala sesuatu yang kompetitif, baik di sekolah atau di mana saja—yang baik, menurut Kak Zaky, merupakan sarana yang tepat untuk melatih remaja supaya tegar menghadapi suatu persoalan, termasuk kegagalan. “Selain itu, remaja juga butuh peran orang tua untuk bisa mengarahkan mereka supaya tidak berlebihan dalam merespons sesuatu, kayak kegagalan atau kesalahan dan sebagainya. Orang tua diharapkan bisa memuji setiap pekerjaan anak-anaknya, meskipun itu belum memuaskan,” lanjut penulis buku Jangan Berdakwah Nanti Masuk Surga dan Islam Gak Liberal tersebut.

Sementara itu, bagi Sobat kita, Syifaul Ummah, kegagalan adalah hal yang biasa. Siswa SMA Negeri 3 Demak tersebut kerap mengalami kegagalan selama mengikuti berbagai macam kompetisi.

“Kalau gagal dalam perlombaan, pertama pasti saya kecewa. Ya, sudah berusaha keras selama ini, tapi kok belum berhasil, pasti kecewa gitu. Namun, ya sudah, selanjutnya saya akan menuntut diri saya untuk lebih baik dalam lomba-lomba berikutnya, bagaimana caranya agar bisa menang, sehingga usaha saya nggak sia-sia. Intinya kegagalan itu justru membuat saya lebih bersemangat untuk memperbaiki diri sehingga bisa membuat pembuktian di lomba-lomba selanjutnya,” kata remaja 17 tahun tersebut.

Berkat sikap dan semangat pantang menyerah itu, akhirnya segudang prestasi pun berhasil diraih Syifa. Untuk ulasan lengkapnya, simak di rubrik Visioner, ya!

Syifa adalah salah satu contoh remaja yang tidak takut dengan kegagalan. Bukan berarti ia senang dengan kegagalan yang dialami, melainkan ia bisa menjadikan setiap capaian yang tidak sesuai dengan harapannya sebagai media untuk memperbaiki diri, bermuhasabah.

Dalam Alquran Surah Ar Ra’d ayat 11 disebutkan, “…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…”

Jika kita mengalami kegagalan, bukan berarti kita buruk atau tidak mampu dalam hal itu, tetapi kita butuh waktu yang lebih banyak lagi untuk dapat menguasainya. Kita perlu mengubah diri kita menjadi lebih baik daripada sebelumnya, sehingga Allah akan mengubah keadaan kita menjadi lebih baik.

Barangkali, terkadang kita iri melihat kehidupan orang lain—yang tampak sempurna. Seolah mereka tak pernah mengalami kegagalan. Tak usah risau, Sobat. Kita pun bisa menjadi seperti itu. Mereka yang hidupnya tampak sempurna, bukan berarti tak pernah sengsara. Segala kesuksesan yang mereka miliki saat ini adalah berkat usaha keras tak kenal lelah yang mereka lakukan. Gagal dan jatuh, pasti pernah perberkali-kali mereka hadapi. Sakit, tentu saja. Namun mereka pantang menyerah.

Kita pun bisa seperti mereka. Jika sekarang belum, mungkin karena kita pun belum pernah ‘jatuh’ sekeras mereka, atau ‘sakit’ separah mereka. Mari tetap mencoba hal-hal baru, jangan hanya sibuk mengomentari keberhasilan orang lain. Biarkan saja rumput tetangga yang tampak lebih hijau, our lives are even more wonderful. [Ibnu Majah]

About admin

Check Also

Merayakan Kemerdekaan ke-79 ala Generasi Muda

Smarteen – Tujuh puluh sembilan tahun telah berlalu sejak Bapak Proklamator, Ir. Soekarno, membacakan naskah Proklamasi …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *