KISAH NYATA: Mahkota Santri, Pengalaman Indahku Menjadi Santri

Smarteen.co.id — Aku manusia biasa. Pandanganku nggak luas, pendidikan pas-pasan. Hobiku? Makan, tidur, nonton TV, mainan HP, dan traveling. Kebiasaanku, menghabiskan uang orang tua.

Saat SMP, aku terkenal ganas dan memiliki gank. Aku juga cuek dengan ujian nasional. Prinsipku, datang, kerjakan, lupakan! Tak heran, hasilnya bisa ditebak; biasa-biasa saja.

Setelah ujian dan urusan SMP beres, aku disibukkan memilih satu dari puluhan SMK/SMA. Bingung? Tentu saja, karena banyak sekali. Sampai akhirnya, ayah memilihkanku sekolah berbasis Islam.

Terang saja aku terkejut. Aku merasa minder dan tak mampu. Apalagi, aku juga harus menerima kenyataan bahwa nanti aku sekalian mondok di sana. Aku sampai membayangkan bagaimana nantinya. Mencuci dan nyetrika sendiri, antre mandi, antre makan, tidur bareng, dan lain-lain. Berat rasanya.

Ah, apakah aku terlalu liar sampai aku diminta harus nyantri? Iya, aku tahu nyantri itu baik. Namun, pesantren itu penjara. Kalau kata orang-orang, penjara suci. Selain itu, ilmuku? Ah, aku di bawah rata-rata. Tak seperti yang lainnya.

***

 Proses awal itu, semuanya aku masih ingat. Bahkan saat kini aku benar-benar ada di sini, di dalam penjara suci ini. Tidak ada yang mengelak, sekarang aku adalah santri. Bodoh atau tidak, aku tetaplah santri. Dan seiring berjalannya waktu, aku kini menikmatinya. Menikmati menjadi santri. Tak dipungkiri memang, ternyata menjadi santri itu menyenangkan.

BACA JUGA: Manisnya Lelah

Bangun pukul 3 pagi, lalu Salat Tahajud. Dilanjutkan mengaji bersama, menghafal Al-Qur’an, belajar hadis dan fikih, belajar adab, dan lain-lain. Paling berkesan, kami makan satu nampan bertujuh. Ternyata pula, antre mandi, antre makan, ramainya kamar, dan hal-hal lain yang kubayangkan dulu, terasa begitu indah.

“Santri adalah orang-orang terpilih. Terpilih untuk menjadi kekasih Allah,” begitu kata ustazku yang selalu kuingat.

Ah, aku bersyukur. Menjadi santri menyenangkan sekali. Meski awalnya perjalanku tidak mulus, tetapi dengan menjadi santri kini aku menjadi manusia yang lebih mengerti agama dan mengenal Allah Swt. Dekat dengan Allah itu menyenangkan, ditambah pula berselawat bagi Nabi Saw dan keluarga beliau.

Aku juga selalu mengirimkan Surah Al Fatihah untuk kedua orang tuaku setiap pagi. Jarak kami yang jauh, membuatku selalu rindu pada mereka. Sampai tak jarang air mata menetes begitu saja, saat rindu itu mendera.

Ya, kini pun aku sadar, bahwa akulah yang nanti akan menuntun orang tuaku ke jalan Allah menuju surga-Nya. Aku, akulah yang akan berusaha memetik pahala demi mendapat rida-Nya, dan kupersembahkan mahkota itu untuk mereka. Ayah dan bundaku tercinta.

BACA JUGA: CERPEN: Perginya Malaikat Tanpa Sayap

Sobatku yang mulia, aku adalah santri biasa, tidak begitu pintar, tidak begitu kaya, tidak mempunyai banyak hafalan. Namun, kini aku merasa hidupku berubah menjadi lebih baik, meski hanya dengan satu ayat kitab kuning.

Kini aku bisa sedikit demi sedikit melatih mental dan menata hati. Tiap saat ngaji, belajar puluhan kitab dan hadis, agar orang tuaku selamat dunia dan akhirat.

Terima kasih, Yaa Allah, Engkau jadikanku santri. Ini takdirku yang paling indah. Ayah, bunda, terima kasih. Setiap peluh kalian adalah pahala.

Ustaz dan ustazahku yang sangat berarti bagiku, tanpa lisan mereka aku buta dan pincang. Sahabat-sahabat santriku, kalian keluarga kecilku yang paling istimewa. Kita selalu merasakan berbagai hal bersama, berada di bawah atap yang sama. Ahlan wa salam Sobat pembaca, yang insya Allah dirahmati Allah Swt. Aamiin. Dan ingat lah Sobat. Manjadda Wa Jadda! Allahu Akbar.[]

Oleh:
Anjanani Janmabhumi,
Pondok Pesantren Daarul Hidayah Sukoharjo

About admin

Check Also

Aku Bisa Menggapai Mimpi

Kisah Nyata: Aku Bisa Menggapai Mimpiku

Smarteen.co.id – Sebenarnya aku tak pernah menyangka untuk bersekolah di sekolah swasta yang menjadi sekolahku …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *