Manisnya Lelah

Mei 2018, Pondok Pesantren Hidayah Klaten

“Sha, ayo latihan!” ajakanku membangunkan Asha dari baringnya. Asha yang masih sedikit lesu menghampiriku.

Ngantuk, Fi,” keluhnya.

“Semangat, Sha, semangat!” aku menyemangati Asha sambil terus memakai kaos kaki. Kami tahu ini sangat melelahkan. Ramadan, setelah tadarus sehabis Tarawih adalah waktu luang untuk istirahat dan bersantai. Namun setiap malam sampai suntuk, bahkan dini hari, kami berlatih mempersiapkan kegiatan ‘panggung gembira’ yang baru pertama kali diadakan dalam sejarah pondok pesantren (ponpes) ini.

Pada siang hari pun, kami harus melanjutkan persiapan itu, termasuk mencari dana. Asal Sobat tahu, ponpes ini masih kecil. Angkatan kami hanya ada 24 putri dan 13 putra yang masing-masing memiliki acara ‘panggung gembira’ sendiri.

Kegiatan latihan kami lakukan di sekolah yang terletak di samping area asrama putri. Pada malam hari, sekolah merupakan tempat yang terjangkau untuk mempersiapkan segala hal.

Kami hanya 24 anak berumur 15 tahun. Beberapa minggu yang lalu, kami baru saja mengerjakan soal Ujian Nasional (UN). Kami berusaha merangkap tugas dan peran lebih dari satu dalam even ini.

“Aufi, Asha!” sapa teman yang lain. Semangatku dan Asha melonjak naik melihat teman yang lain tertawa. Mereka tampak senantiasa semangat latihan, meski dengan rasa lelah yang mereka pikul. Bagaimana pun juga, ‘panggung gembira’ yang pertama ini harus berjalan dengan baik, semampu kami. Terutama untuk tim background yang sering tak tidur, mereka hanya sempat sahur dan berbuka puasa.

“Eh, malam ini kita latihan flashmob, ya!” seru Dila. Lelah terasa manis bila kami bersama.

Tak jarang kami latihan hingga pukul 01.00 malam. “Fi, temenin ambil minum di pondok, di halaman sekolah banyak ikhwan,” Ka mengajakku.

Sambil tertawa geli, aku mengangguk. Aku dan Ka pun beranjak untuk mengambil air minum. “Fi, mau ambil minum, kan? Ambil segalon aja sekalian, bisa buat semua,” Yumna mencegah kami, menambahkan sebuah instruksi. Aku dan Ka bertatapan, tersenyum dan mengangguk.

Kemudian, Devi dan Abidah memutuskan ikut supaya dapat membantu mengangkat galon air. Sungguh hari-hari itu kami lalui dengan lelah yang terasa manis. Malam terakhir sebelum acara kami sangat sibuk, lari ke sana-kemari memastikan segala hal. Apakah sudah benar-benar beres, atau mungkin ada sesuatu yang masih kurang. Hal ini kami lakukan semata-mata untuk menyuguhkan penampilan terbaik. Mengukir kenangan indah yang tak terlupakan untuk semua.

Oktober 2018, Sukoharjo

Hari telah berlalu, sisakan banyak kisah, bersama sahabat sejati dalam suka dan duka. Walau tak lagi bersama dalam pondok kita, tapi aku yakin kalian di sana bahagia menjalani hari dengan senyuman.

Aku sungguh merindukan keluarga 24 anak itu. Tiga tahun yang indah. Adakah waktu bertemu lagi dengan kalian? Berkumpul bersama selamanya?

Kini, kupandangi foto ‘panggung gembira’ bernuansa merah kala itu. Kenangan manis itu akan selalu terkenang. Ukhuwah yang melukiskan senyum di wajah kita, tawa canda yang dapat mengubah lelah terasa manis. Sesekali, aku kerap mengirim salam untuk kalian semua di sana. Siapa tahu, angin berbaik hati mau menyampaikannya. []

Aufi Muaddibah
SMAIT Nur Hidayah Sukoharjo

About admin

Check Also

Aku Bisa Menggapai Mimpi

Kisah Nyata: Aku Bisa Menggapai Mimpiku

Smarteen.co.id – Sebenarnya aku tak pernah menyangka untuk bersekolah di sekolah swasta yang menjadi sekolahku …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *