Smarteen.co.id — Islam pernah menorehkan sebuah catatan gemilang dalam sejarah peradaban dunia. Bermula dari jazirah Arab, kemudian menyebar hingga ke daratan Eropa, hingga pada masa kekhalifahan Turki Utsmani atau yang banyak mengenalnya dengan Ottoman.
Sobat, tahukah kamu siapa pemimpin terakhir kekhalifahan Turki Utsmani? Dialah Sultan Abdul Hamid II. Dia dilahirkan di Istanbul, Turki pada 21 September 1842 dengan nama lengkap Abdul Hamid bin Abdul Majid bin Mahmud bin Abdul Hamid bin Ahmad.
Dia adalah putra Abdul Majid dari istri kedua. Ibunya meninggal dunia saat Abdul Hamid berusia tujuh tahun. Sultan Hamid II menguasai bahasa Turki, Arab, dan Persia. Dia juga dikenal senang membaca dan bersyair. Abdul Hamid menjadi khalifah Turki Utsmani menggantikan pamannya, Abdul Aziz, yang bergelar Murad VI pada 1876.
Sang paman mewariskan negara dalam kondisi yang carut-marut. Tunggakan utang luar negeri, parlemen yang mandul, campur tangan asing di dalam negeri, tarik-menarik berbagai kepentingan di dalam tubuh pemerintahan, serta birokrat-birokrat yang korup.
Memimpin Negara Saat Sedang Kacau
Abdul Hamid II mengemban amanah memimpin sebuah daulah yang luasnya membentang dari timur dan barat. Dia menghabiskan 30 tahun kekuasaannya sebagai khalifah dengan dikelilingi konspirasi, intrik, dan fitnah dari dalam negeri. Sementara itu di luar negeri, ada perang, revolusi, dan ancaman disintegrasi serta tuntutan berbagai perubahan yang senantiasa terjadi.
Dalam kondisi seperti itu dia masih peduli terhadap kemaslahatan umat, dengan mendirikan sebuah universitas Islam. Dia juga memerintahkan pendirian sekolah-sekolah, rumah-rumah dinas bagi para dosen, akademi politik dan kesenian wanita, museum-museum, perpustakaan-perpustakaan, sekolah kedokteran, rumah sakit spesialis anak, perumahan bagi orang-orang yang tidak mampu, kantor pos pusat, ruang-ruang pertemuan, beberapa organisasi petani dan buruh, serta pabrik-pabrik keramik.
Dalam masa pemerintahannya yang sulit, Sultan Hamid II terpaksa menandatangani perjanjian Saint Stefanus, karena adanya tekanan dari negara-negara Eropa. Dalam perjanjian tersebut, Pemerintah Turki Utsmani harus memberikan kemerdekaan penuh kepada negara Rumania, Bulgaria, dan Serbia. Dia juga berjanji akan menjaga dan melindungi orang-orang Arman yang beragama Kristen dari serangan orang-orang Kurdi dan Syarkasi.
Sementara itu, orang-orang Bulgaria berusaha memengaruhi orang-orang Islam yang ada di Bulgaria, Serbia, dan Pegunungan Hitam untuk mengadakan pemberontakan terhadap kekhalifahan Turki Utsmani.
Upaya Mempertahankan Kedaulatan Turki Utsmani
Untuk mempertahankan kedaulatan wilayah Kesultanan Turki Utsmani, Sultan Abdul Hamid II melakukan berbagai upaya untuk menyatukan umat Islam dan membantu mereka agar dapat melawan para penjajah yang menjadi penguasa di negeri mereka sendiri.
Kemudian, dia mengubah beberapa keputusan dalam perjanjian Berlin yang sangat merugikan dan sangat dia khawatirkan, yang berisi tentang penggabungan Bosnia Herzegovina ke dalam wilayah Austria.
Dia juga berhasil mengalahkan pasukan Rusia dan mengatasi pemberontakan. Namun, dengan bantuan para Syekhul Islam saat itu, para musuh Sang Sultan berusaha membujuk syekh untuk menurunkan Sultan Abdul Hamid II dari jabatannya pada 1909.
Inilah salah satu bentuk pengkudetaan terhadap jabatan sultan. Sultan Abdul Hamid II terpaksa menerima keputusan tersebut. Kemudian, dia beserta seluruh anggota keluarganya diasingkan ke Salonika, Yunani.
Pada 1912, Sultan Abdul Hamid II dipulangkan ke Istanbul dan diasingkan dalam penjara istana tua Beylerbeyi. Akan tetapi, anak-anaknya dipisah-pisahkan, bercerai-berai. Beberapa di antara mereka dibuang ke Prancis.
Kondisi di pembuangan Salonika atau di istana tua Beylerbeyi Istanbul sama saja bahkan lebih parah. Akhirnya, Sultan Abdul Hamid II mengembuskan napas terakhir dalam penjara Beylerbeyi pada 10 Februari 1918. []