Smarteen.co.id — Langit hitam pekat menghiasi Kota Surabaya. Matahari pun enggan menampakkan dirinya walau hanya sekejap saja, gulungan awan-awan hitam seakan siap menumpahkan isinya ke bumi Surabaya.
Pagi ini rasanya aku begitu malas pergi ke sekolah. Namun pesan ayahku kala itu selalu berhasil menggugah semangatku. “Key, perempuan itu harus sekolah tinggi, bukan untuk menyaingi karier suami, tetapi untuk mendidik anak-anakmu kelak supaya mereka tumbuh menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Karena seorang ibu adalah madrasah pertama dan paling utama bagi anak-anaknya.”
Perjalanan menuju kelas berasa malam sudah mau datang menghampiri, padahal kulihat jam melingkar di tanganku baru menunjukkan pukul 06.30. Udara semakin dingin ketika aku masuk ruang kelasku yang ber-AC.
Jam dinding menunjukkan pukul 07.00. Bel berbunyi dan guru pun sudah di depan pintu kelas. Seperti biasa kegiatan belajar mengajar siap dimulai.
Bu Santi, guru Bahasa Indonesia yang hadir mengisi jam di kelas. Karena materi telah tersampaikan semuanya, maka jam kali ini dia tak lagi membahas materi. Dia menyuruh seorang temanku menyanyi di kelas, mungkin untuk sekadar hiburan.
BACA JUGA: CERPEN: Perginya Malaikat Tanpa Sayap
Ivan temanku ditunjuk menyanyikan sebuah lagu, melodi lagu itu membuatku ingin rasanya menumpahkan air mata, lagu yang menyayat kalbu, yang mengingatkanku pada sosok pahlawan hidupku. Lagu yang mengingatkanku pada seorang yang mengajariku tumbuh sedewasa ini menjalani hidup, melewati kejamnya dunia ini, ya lagu yang dibawakan berjudul Ayah – Rinto Harahap.
“Untuk ayah tercinta, aku ingin bernyanyi, walau air mata, di pipiku, ayah dengarkanlah, aku ingin berjumpa, walau hanya dalam, mimpi……”
Terdengar suara Ivan yang begitu menghayati lagu dengan suara manisnya. Aku pun tak seperti karang di laut yang kokoh walau diterpa ombak, aku tak kuasa menahan air mata yang mengalir begitu saja tanpa kupinta. Bu Santi yang melihatku menangis pun menghampiriku.
“Keyla, kamu baik-baik saja?”
“Iya Bu, aku hanya rindu ayah, aku teringat pada ayahku,” jawabku
“Ibu tahu yang kamu rasakan, kamu harus sabar menerima takdir Tuhan ketika harus berpisah dengan ayahmu. Yang harus kamu lakukan sekarang adalah berdoa dan mewujudkan harapan ayahmu, supaya dia bangga di mana pun ayahmu berada,” Bu Santi berusaha menenangkanku.
“Baik, Bu.”
Sebuah kalimat singkat yang membuatku harus berpikir ulang untuk larut dalam kesedihanku. Ayah juga tidak pernah mengajariku menangis menghadapi masalah, jika dia sekarang di sini pasti dia tak akan membiarkan putrinya menangis.
BACA JUGA: KISAH NYATA: Bumi Santri, Tempatku Berjuang Menempa Diri
Awalnya aku benci pada Ayah, mengapa dia meninggalkanku secepat ini. Aku merasa terlalu dini untuk menerima semua ini, aku masih ingin belajar banyak hal bersama ayah, ingin aku menghabiskan masa-masa remajaku bersama ayah, ingin dia ada nantinya saat aku wisuda dan menikah.
Inginku dia menemaniku sampai aku bisa mewujudkan kehidupan yang diinginkan ayahku. Namun apa daya takdir berkata lain, aku tak bisa menolak karena semua sudah menjadi ketetapan-Nya.
Kupeluk sebuah gelang pemberian ayahku erat-erat seraya ingin sekali aku memeluk ayah bertemu dengan ayah sekali saja walau hanya dalam mimpi. Tak terasa, hari ini tepat 1 tahun lamanya ayah dipanggil oleh Sang Pencipta dan pesan terakhir ayahku adalah supaya aku tumbuh menjadi wanita sholehah yang tumbuh kuat dalam ketaatan yang selalu menjaga kehormatan diri dan membanggakan keluarga. Aku akan mewujudkannya demi ayah. Aku akan selalu merindukan seseorang yang luar biasa, ayah. []
Hilda Suryani
SMA N 1 Cawas, Klaten