Smarteen.co.id — Kilau mentari pagi menerpa tubuh mungilku. Udara segar pedesaan dan langit luas yang terbentang indah menjadikan pagiku kian bermakna.
“Aku Margareth, aku seorang muslim,” kalimat yang sering terucap dari mulutku. Menjadi kesimpulan atas pertanyaan orang tentang diriku.
***
Empat tahun lalu, saat aku masih SMA. Aku adalah murid pendiam, penyendiri, dan tak pandai bergaul. Sehingga, di hari pertama di kelas X aku tak kenal satu pun dengan mereka. Guru mata pelajaran pertama, meminta kami berkenalan. Tradisi di awal tahun ajaran baru.
Satu-dua orang mulai memperkenalkan diri, hingga terlewat 6 orang. Tibalah giliranku. Aku berdiri, memandang papan tulis yang bertuliskan apa saja yang harus dikatakan.
“Perkenalkan, nama saya Ocha Margaretha. Saya tinggal di Boyolali. Bla.. Bla… Bla..,” kataku pelan namun cukup tegas.
“Terima kasih,” akhirku.
“Ocha,” panggil guru sebelum aku sempat duduk.
“Kamu nasrani?” lanjut guruku bertanya.
“Bukan,” jawabku singkat sembari menyungging senyum.
“Benarkah? Bukankah Margareth itu nama baptis?” dia masih menyelidik.
“Tidak, Pak. Saya muslim,” kembali kusunggingkan senyum.
“Mualaf?” selidiknya kembali.
“Bukan. Saya muslim sejak lahir.”
Guru itu tidak lagi mengajukan pertanyaan, dia memintaku duduk dan meminta yang lain mengenalkan dirinya.
BACA JUGA: CERPEN: Cintaku untuk Si Manis
***
Jam pulang tiba. Seperti biasa, aku pulang sendiri. Entah kenapa, hari ini aku ingin sekali lewat kantor guru. Saat itu, tanpa sengaja kudengar percakapan dari guruku.
“Bu. Sudah masuk X IPS 1 belum?” tanya guru tadi pagi.
“Belum. Memangnya kenapa, Pak?”
“Di kelas itu ada siswa namanya Margareth, tetapi dia bilang muslim,” jawab guru tadi pagi.
“Walah. Zaman sekarang banyak kayak gitu, Pak. Orangnya Islam tetapi namanya non-Islam.”
“Nggak hanya itu saja. Sekarang juga banyak kan orang Islam yang nggak tahu ajaran-ajaran agamanya. Bahkan beberapa dari mereka tak bisa membaca Al-Qur’an sama sekali,” lanjut guru lain.
***
Keesokan harinya. Sehabis Asar, usai pulang sekolah, aku mencoba ikut kegiatan Rohis. Berkumpul dan mengaji bersama mentor masing-masing. Dalam kesempatan itu, semua yang hadir juga diminta mengenalkan diri. Aku menjadi yang pertama mengenalkan diri.
“Saya Ocha Margaretha dari kelas X IPS 1.”
“Margareth? Nggak salah ikut Rohis?” ucap Mbak Rey, salah seorang senior Rohis.
“Mohon maaf sebelumnya. Setahu saya, seorang ulama salaf pernah berkata, “Iman itu bukan sebatas penampilan dan angan-angan, akan tetapi iman adalah sesuatu yang tertanam dalam hati dan dibenarkan oleh tingkah laku,” entah dari mana keberanian itu muncul, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut ini.
“Lha apa maksudnya kamu nggak mau berjilbab? Yang penting iman dalam hati. Begitu?” tanya Mbak Rey lagi, membuatku tak bisa berkata lagi.
“Dek Ocha,” Mbak Fia, senior Rohis lain yang jadi mentorku mendekat. Dia memberi isyarat untuk diam pada Mbak Rey.
“Benar lho apa yang dikatakan Dek Ocha. Maksud Mbak Rey bukan menuduh lho. Mbak Rey hanya berpendapat, bukankah lebih baik kalau Dek Ocha memakai jilbab. Bukankah dengan berjilbab kita membenarkan iman dengan perilaku? Membenarkan perintah Allah untuk menutup aurat,” kata Mbak Fia lembut.
“Cara Dek Ocha mengaji dan mengutarakan beberapa hal tentang Islam, mengaji, dan salat Asar bersama. Itu sudah menunjukkan pada kami kalau Dek Ocha itu Muslim. Hanya saja, sama seperti buku, banyak orang melihat orang lain dari sampulnya. Orang lain hanya melihat sampul Dek Ocha yang belum berjilbab. Ditambah nama yang juga mendukung.”
***
BACA JUGA: CERPEN: Aku dan Jilbab di Kepalaku
Dua hari usai kegiatan Rohis, hatiku bergemuruh. Aku ingin memakai jilbab, meskipun aku belum berani sempurna seperti yang lain. Aku ingin memulai memakai jilbab, meskipun hanya di sekolah.
“Aku Margareth, dan saksikanlah aku seorang muslim,” sore itu, dengan senyum yang tersungging, aku menemui teman-teman Rohis. Walaupun banyak mata yang kaget melihat penampilan baruku, tak sedikit dari mereka yang mengucap syukur.
Sejak saat itu, aku sadar akan satu hal, bahwa satu kata mungkin tidak mampu membuat orang lain percaya pada kita. Akan tetapi, satu tindakan yang pasti, itu lebih dari cukup mengubah pandangan orang lain tentang kita.
“My Name Is Margareth And I’m A Moslem.” []
Oleh:
Yeon (Silvia Margaretha)
Jaten, Klego, Boyolali