Smarteen.co.id — Aku berdiri di bawah sayup-sayup senja. Angin laut mulai merasuk ke dalam tubuhku, menembus tulangku. Namun, tidak kupedulikan hal itu.
“Senja, hari sudah petang, kamu nggak mau pulang?” Diana mengagetkanku.
“Ah, Diana. Sejak kapan kamu di sini? Bikin kaget saja.” Diana adalah sahabatku, memiliki lesung pipit yang membuatnya tampak manis.
“Di, apakah aku berdosa, jika aku tidak mau pulang?” tanyaku pada Diana.
“Kamu itu ya, lucu banget. Masak iya, kamu mau tidur di sini bareng sama katak, kecoa, jangkrik, ulat, dan sejenisnya. Pengin?” sahut Diana sambil tertawa.
Aku hanya terpaku diam. Tak lama kemudian, air mataku mulai berjatuhan, membasahi jilbab. Diana yang berada di sampingku tampak kebingungan, lalu ia mengeluarkan sapu tangan dan memberikannya padaku. Kupeluk erat tubuh Diana.
“Senja, kita sudah bersahabat selama 5 tahun. Kita berteman jangan hanya berbagi kesenangan. Aku ingin kamu membagikan apa yang membuatmu sedih, sehingga kita dapat melewatinya bersama. Tolong, percayalah padaku,” jelas Diana.
Aku hanya membisu, tidak tahu apa yang harus kukatakan. Walau aku tahu, seberapa tulus Diana kepadaku, tetapi seolah hati memaksaku untuk memendamnya sendiri.
BACA JUGA: CERPEN REMAJA ISLAMI: Bintang Pesantren Oleh Luthfiah Nabiila
“Maaf, Di, aku belum bisa mengatakannya,” bisikku.
“Iya, Senja, aku tidak akan memaksamu, asalkan kamu jangan sedih lagi. La tahzan, innallaha ma’ana. Satu hal yang harus kamu ketahui, aku menyayangimu. Jika kamu membutuhkanku, temui atau hubungi aku,” ucap Diana dengan menghapus air mataku.
Aku hanya menganggukkan kepala, dan melangkahkan kaki menyusuri jalan setapak untuk kembali pulang.
***
“Pyarrrr… Pyarrr…” suara piring, gelas, yang melayang bebas di rumahku. Aku tak bisa berkata apa-apa, aku langsung menuju kamar dan menutup rapat pintunya.
Tak lama kemudian, terdengar suara tangisan ibuku, dan suara gebrakan pintu depan, disusul suara mobil yang menjauhi rumah.
Ya, aku hidup di keluarga yang berkecukupan secara finansial, tapi lain halnya dengan kebahagiaan. Setiap hari, selalu ada kesalahpahaman antara ayah dan ibuku.
Tiba-tiba, aku teringat ucapan Diana tadi. Aku pun bergegas menuju kediaman Diana dengan berbekal buku pelajaran serta seragam untuk sekolah esok hari. Sesampainya di rumah Diana, kuceritakan semua masalahku.
“Jadi begitu masalahmu. Senja, kamu tahukan bahwa Allah tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya. Hadapi semua ini dengan tawakal. Berbaiksangkalah dengan Allah. Karena semua masalah itu bertujuan untuk menaikkan derajatmu di hadapan-Nya. Sebagai anak, jadilah anak yang senantiasa berbakti kepada kedua orang tua, kamu harus menguatkan hati kedua orang tuamu. Ayo, mungkin kamu bisa memulai dengan mengajak kedua orang tuamu makan, kemudian berkomunikasilah dengan baik,” saran Diana panjang-lebar.
“Terima kasih, Di,” kataku sambil memeluk Diana.
***
Esoknya, kubuat surat untuk kedua orang tuaku, kumasukkan dalam amplop merah yang berhias pita. Aku berharap dengan ini masalah dapat berakhir. Aku mengundang orang tuaku untuk makan malam di taman tengah kota, aku telah mempersiapkan semuanya bersama Diana.
“Senja, maafkan aku. Aku harus pulang, karena sudah ditunggu guru les. Semoga usahamu tidak sia-sia, ya,” kata Diana.
“Iya, Di, terima kasih atas semuanya,” balasku.
Awalnya aku yakin bahwa orang tuaku akan datang, tapi setelah kutunggu hampir tiga jam, tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Lilin di depanku kini tak bisa kujadikan penerang.
Di sini, aku benar-benar sendiri. Aku menangis, aku berlari di tepi jalan raya, hingga tak sadar, ada motor melintas di depanku. Beberapa jenak kemudian, aku terbaring lemah, tanganku lecet-lecet dan tubuhku terasa sakit, tetapi aku masih sadar dan bisa berdoa, “Ya Allah, jika memang ini adalah takdirku, aku rela, kupasrahkan semua pada-Mu. Aku mohon kepada-Mu, agar aku bisa melihat wajah orang tuaku bersama-sama dengan senyum bahagia.”
BACA JUGA: CERPEN: Kenangan Senja
Aku dibawa menuju ruangan di sebuah rumah sakit. “Nak, ini Ayah dan Ibu di sini. Bukalah matamu! Kami menyayangimu,” bisik ibuku. Aku dapat mendengarnya, tapi mungkin karena efek obat, aku masih terlelap dan tak dapat mengatakan apa pun. Namun, entah bagaimana, tanganku bisa kugerakkan untuk menyatukan tangan kedua orang tuaku.
Kemudian kurasakan pelukan dari kedua orang tuaku bersamaan. “Senja, kamu harus sembuh, kita masih bisa memulai untuk menjadi keluarga yang harmonis,” bisik ayahku. Aku tersenyum, entah tampak di bibirku atau tidak. Aku bahagia, karena doaku dikabulkan oleh-Nya.
***
Beberapa hari kemudian, aku keluar dari rumah sakit. Kedua orang tuaku datang bersama menjemputku. Mereka tampak bahagia. Aku yakin, ke depan keluargaku akan lebih harmonis. Terima kasih, ya Allah! []
TEEN JOURNALIST
Fatimah Novi Hanggrahini
SMAN 1 Karanganyar