Setelah gelap, pasti ada terang. Seperti malam yang selalu berganti pagi.
Setiap keterpurukan, masih ada harapan atas keberhasilan yang menanti.
Smarteen.co.id — Kuberjalan menyusuri lorong sekolah untuk menemui sahabatku, Aulia. Walau kini kita berbeda kelas, kita tetap bersahabat. Aku ingin memberitahunya bahwa ada lomba cerdas cermat tentang sejarah Indonesia yang akan diadakan tingkat kota tanggal 17 Agustus besok.
“Aulia!” panggilku dari depan pintu kelas.
“Ada apa? Pasti mau kasih tau tentang lomba lagi? Iya, kan?” tanyanya.
“Iya. Kamu seperti peramal saja. Bisa baca pikiranku,” balasku.
“Sudahlah, Ka. Aku sudah tidak ingin mengikuti lomba lagi. Setiap kali kamu mengajakku ikut lomba, tidak ada satu pun yang kita menangkan.”
Memang benar kata Aulia, tapi aku tidak ingin menyerah. Apa pun yang terjadi. Selama jiwa masih di raga, tak ada salahnya untuk terus mencoba dan berusaha.
“Ih, kamu mah diajakin begitu. Ini situasinya pas banget, lho. Pas Hari Kemerdekaan. Kita harusnya memiliki semangat 45.” Aku tidak akan mudah setuju terhadap pendapat Aulia yang pesimis itu. Bukankah Allah tidak akan mengubah suatu kaum sebelum kaum tersebut mengubah dirinya sendiri?
“Kamu enggak tau perasaanku, Ka. Aku lelah. Kamu selalu memintaku untuk mengikuti lomba ini dan itu sesuai kemauanmu, dan kita tidak pernah menang. Mungkin memang takdir yang Allah berikan seperti itu. Kenapa kamu tidak pernah mengerti juga?” elaknya dengan emosi. Sepertinya ia sudah banyak bersabar terhadap sikapku yang sering mengajaknya mengikuti lomba.
“Ya sudah. Aku tau kesuksesan kita suatu saat nanti berbeda. Mungkin memang seharusnya aku tidak memiliki sahabat sepertimu. Sebaiknya aku mencari sahabat yang benar-benar bisa berjuang bersama demi meraih kesuksesan.” Aku pergi meninggalkannya dengan kesal.
***
BACA JUGA: CERPEN: Aku dan Jilbab di Kepalaku
Beberapa hari kemudian, seperti biasa setiap Jumat adalah jadwal muhadarah. Semua siswa berkumpul di lapangan. Aku tidak sengaja bertemu Aulia yang spontan langsung membuang muka. Aku duduk dekat pagar lapangan, sedangkan ia agak jauh dariku.
Semua siswa menyimak materi muhadarah yang disampaikan guru. Aku melirik ke arah Aulia. Ia terlihat serius menyimak setiap kata yang disampaikan guru. Aku terus memperhatikan, dan tak terasa acara muhadarah selesai.
Aku pun bangkit dari duduk, dan samar-samar kudengar sebuah suara memanggil namaku. Yap, itu Aulia.
“Ka, aku minta maaf, ya. Aku tersentil kalimat yang disampaikan pak guru tadi, kita sebagai umat Islam tidak sepantasnya mudah menyerah. Kita harus bisa memajukan peradaban Islam. Siapa bulat tekadnya, maka akan terbuka jalannya.” Aulia meminta maaf dan sedikit mengulang materi muharadah tadi.
“Oke, aku maafin. Berarti kita jadi dong ikut lomba cerdas cermatnya?” balasku.
“Jadi dong, tos dulu! Kita pasti bakal jadi tim yang paling kompak. Semangat 45. Merdeka!” sahut Aulia penuh semangat, ia telah berubah.
“Setuju,” jawabku.
BACA JUGA: CERPEN: Kenangan Senja
“Mulai sekarang aku akan berusaha menjadi sahabat terbaik untukmu. Dan kita bakal berjuang bersama demi meraih kesuksesan. Apa pun yang terjadi, menang atau kalah, aku akan senantiasa berjuang,” jelasnya.
Kami bukan orang yang selalu menang, tapi kami yakin suatu saat nanti akan menjadi seorang pemenang. Selama tetap berpegang erat untuk meraih kesuksesan bersama.
Sahabat ialah anugerah terindah yang tak boleh disia-siakan. Karena sahabat yang mau diajak berjuang bersama tidak mudah dicari. Maka jika memiliki sahabat, peganglah erat-erat, jangan mudah dilepaskan.[]
Oleh:
Ika Amalia
MAN 2 Kota Tangerang