Smarteen.co.id — Hari itu aku menahan air mataku sekuat tenaga agar tak lagi mengalir di pipiku. Aku tidak tahu pasti mengapa, tapi sorotan sinis beberapa anak membuatku takut. Entah itu hanya dugaanku atau tidak, aku hanya merasa bahwa aku harus pergi.
Aku tidak bisa lagi berada di kelas yang tak bisa memberiku suasana belajar yang kuinginkan. Bau harum buku yang sesungguhnya sangat kusuka mungkin turut lenyap saat itu juga.
Aku tak bisa menemui seseorang pun yang bisa menjadi tempatku meluapkan amarah, jadilah aku pergi ke masjid untuk menenangkan diri. Di sana, aku menceritakan berbagai keluh kesahku kepada Allah Yang Maha Pemurah.
Aku yakin bahwa Sang Kuasa pasti akan memberikan jalan keluar yang terbaik atas segala permasalahan yang kuhadapi.
Tak lama, otakku merespons bahwa kejadian itu bukanlah yang pertama kalinya bagiku…
***
“Aku masih punya sahabat, kenapa aku harus memikirkan omongan mereka?” pikirku dalam hati. Aku pun berlalu melalui beberapa anak laki-laki yang duduk mengitari meja. Aku sudah lupa apa yang mereka kerjakan saat itu, mungkin membuat pesawat kertas, bermain catur, atau permainan lainnya.
Berhari-hari mereka membisikkan sesuatu tentangku. Aku bukan mengada-ada. Mereka melihatku dengan tatapan yang aneh, menertawaiku, bahkan mengolokku. Awalnya aku tidak peduli, benar-benar tidak.
“Ih, yang ini cantik, ini juga cantik. Yang tengah kok jelek sih?” Seorang anak menunjuk ke foto seorang anak perempuan berbaju merah muda dengan wajah kecokelatan. Ia tertawa dan melihat fotoku sekali lagi, lalu tertawa lagi. Aku bingung. Apa yang salah?
“Ih, item…” tawa mereka sekali lagi. Aku tidak bisa menghitung berapa kali aku merasa bahwa aku ingin keluar dari kelas saat itu juga. Rasanya gerah melihat tingkah laku mereka.
Teman sebangkuku yang merasakan perubahan raut wajahku berusaha menghibur dan mengalihkan perhatianku. Aku merasa lebih tenang. Namun setelahnya, aku justru sering merasa sendiri meski sesungguhnya ada teman-teman di sekelilingku, mudah marah, dan melamun.
“Ih, ogah, ah. Aku nggak mau sama dia. Item. Jelek.” seru seorang anak disertai gelak tawa anak lainnya. Aku sangat terkejut saat itu. Aku marah dan sedih. Aku ingin sekali pergi dari kelas, memukul anak itu, atau apa pun yang bisa menghentikan olokan mereka.
Namun, secepat aku ingin berdiri, secepat itu pula sebuah suara nyaring terdengar jelas di telingaku. “Apaan sih, Zi, jangan begitu dong! Sasa itu teman kita! Ngapain, sih, ngeledek-ngeledek segala!?” seru teman sebangkuku. Mereka hanya diam, terkejut dengan teriakannya, begitu pula denganku.
Aku merasa sangat lega. Aku tidak sendiri dan tidak seharusnya aku sendiri. Aku memiliki seseorang yang ada di sampingku. Itu lebih dari cukup. Jika sepuluh orang menumbangkanku, satu atau dua orang sangatlah cukup untuk membantuku bangkit dengan tekad yang lebih kuat dari olokan mereka, dan aku membuktikannya.
***
Aku tersentak. Dalam kesendirianku di masjid, pikiranku mengingat kembali akan memori masa kecil yang mulai memudar. Aku ingat betul, aku pernah benar-benar melalui situasi ini, ada temanku yang membantuku bangkit.
BACA JUGA: KISAH NYATA: Tak Mudah Cari Sahabat, Maka Peganglah Erat Sahabat Surgamu
Lalu, apa aku akan kalah kali ini? Tidak, aku belum kalah dan aku tidak akan kalah. Masih banyak hal yang belum kurancang, masih banyak cita-cita yang belum kucapai, dan aku tidak bisa berhenti hanya karena sindiran dan olokan.
Hari itu, aku bertekad untuk selalu menjadi pribadi yang lebih baik lagi di kemudian hari. Aku tidak akan berusaha memukul anak lain seperti keinginanku lima tahun lalu. Aku hanya ingin ‘memukul’ mereka dengan fakta bahwa seseorang bukan dinilai dari fisiknya.
Namun, dari kebaikan hati yang dimiliki. Aku memang tidak sempurna, tapi aku ingin menjadi yang terbaik yang kubisa dan bersyukur atas setiap anugerah yang telah Allah berikan kepadaku. []
TEEN JOURNALIST
Salsabil
MAN 2 Kota Kediri