smarteen – Bapak dan ibu, ayah dan bunda, abi dan umi, papa dan mama merupakan kedua orang tua yang sangat berjasa dan berperan atas diri kita, Sob. Di tangan mereka, mulai dari saat di kandungan sampai kemudian kita lahir dan besar seperti saat ini, kita selalu dirawat, diperhatikan, dilindungi dan dibahagiakan.
Mereka tidak mengeluh, pun tidak mengharap balas budi dari kita. Mereka yang tak pernah lupa untuk menyebut-nyebut kita dalam setiap doa yang dilangitkannya. Mereka melakukan itu semua dengan bahagia. Jika berkaca pada perjuangan kedua orang tua dalam membesarkan kita, sudah selayaknya kita berbuat baik dan berbakti terhadap kedua orang tua atau dalam Islam sering disebut birrul walidain. Mereka sudah selayaknya mendapatkan kebaikan dan penghormatan dari kita, anaknya.
Bahkan berbakti kepada kedua orang tua menjadi salah satu dari tiga amalan yang paling dicintai Allah Swt, Sob. Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan sahabat Ibnu Mas’ud Ra, berbunyi: Aku bertanya kepada Rasulullah Saw, “Amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Rasul menjawab, “Salat pada (awal) waktunya.” “Kemudian apa lagi?” Nabi menjawab lagi, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya kembali. “Kemudian apa lagi?” “Kemudian jihad fi Sabilillah.” Ibnu Mas’ud mengatakan, “Beliau terus menyampaikan kepadaku (amalan yang paling dicintai oleh Allah), andaikan aku meminta tambahan, maka beliau akan menambahkan kepadaku.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasai).
Maka, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana bentuk birrul walidain yang benar? Ustaz M. Amin Rois, Lc, alumnus Gontor dan Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, menjelaskan makna yang benar tentang birrul walidain. Diawali dari istilah. Birrun itu artinya adalah berbuat baik secara mutlak. Jadi kalau ada ungkapan birrul walidain, maka bisa dipahami bahwa seyogianya si anak menyempurnakan kebaikan-kebaikannya untuk kedua orang tua.
Dari makna dasarnya dijelaskan oleh Ustaz Amin Rois bahwa berbuat baik kepada orang tua itu mempunyai banyak jalan dan cara, Sob. Sementara ini kita mungkin hanya memaknai birrul walidain dengan taat kepada orang tua. Padahal, bila kita hanya membatasi makna tersebut dengan taat, seolah-olah berbakti kepada orang tua itu menunggu adanya perintah dari keduanya. Taat identik dengan makna menjalankan perintah, sehingga bila tidak ada perintah kita cenderung pasif dan tidak kreatif dalam meng-create kebaikan.
“Bila kita kembalikan kepada makna asli, maka birrul walidain bisa dilakukan dengan banyak hal. Membawakan makanan kesukaan tanpa diminta orang tua, bila anak dan orang tua beda rumah karena sudah menikah, maka si anak berkunjung dan silaturahim dengan membawa anak-anaknya. Bahkan termasuk birrul walidain adalah meluruskan berita-berita yang tidak benar di media sosial yang diamini orang tua. Kita maklumlah bahwa orang tua zaman sekarang kadang kurang filter dalam mengolah informasi. Yang seperti ini pun juga masuk kategori birrul walidain,” jelas Ustaz Amin Rois.
Anak yang berbakti adalah istimewa. Keistimewaan birrul walidain bagi seorang muslim adalah ia akan mempunyai amal unggulan. Bila kita maksimal dalam berbakti kepada orang tua maka bakti kita tersebut akan dinilai sebagai amal ibadah yang paralel. Baik untuk orang tua karena keduanya mendapat doa ampunan dan kasih sayang dari anak-anaknya, sekaligus baik bagi si anak yang mendoakan orang tuanya. Ya, bakti terhadap orang tua adalah kebaikan yang menguntungkan anak dan orang tuanya. Bakti seorang anak kepada kedua orang tuanya akan mengundang rida kedua orang tua kepada anak. Sementara rida kedua orang tua terhadap anak merupakan penentu seorang anak mendapat rida Allah Swt.
Bila Anak Terpisah Jarak dengan Orang tua
Lalu bagaimana untuk sebagian orang yang karena kondisi tertentu tidak bisa tinggal dengan orang tua? Bisa jadi kondisi tersebut karena anak sedang menuntut ilmu di pesantren atau dikarenakan takdir, orang tua tidak bisa ada di samping kita karena telah lebih dulu menghadap Sang Khalik.
Menurut Ustaz Amin Rois, cinta dan bakti kita untuk kedua orang tua tetap bisa tersampaikan. “Maka baktinya anak-anak yang sedang sekolah atau berjarak dari rumahnya adalah memaksimalkan belajar, agar ilmunya kelak bermanfaat, penuh berkah, menjadi wasilah untuk mencari ma’isyah. Dan semua itu sebenarnya adalah menempa diri agar menjadi ‘waladun sholihun yad’u lahu’, yakni anak sholih yang mendoakannya,” ujar Ustaz Amin Rois.
Seperti yang dilakukan oleh Aisyah Nurul Aini, siswi kelas XII SMK Entrepreneur Indonesia-PPTQ Tarbiyatuna Sragen. Tahun ini adalah tahun ketiga Aisyah menjadi santri di sana. Meski terpisah jarak, Aisyah tetap bisa menjalankan baktinya untuk kedua orang tua.
“Salah satu sikap birrul walidain yang aku lakukan saat menjadi siswa yang nyantri seperti sekarang ini adalah dengan menaati perintah dan apa yang beliau inginkan terhadapku. Contoh saja ketika beliau berdua memintaku untuk giat belajar, raih prestasi di bidang yang aku sukai, dan hal-hal positif lainnya, maka aku akan selalu berusaha melakukannya,” ungkap Aisyah.
Beberapa kendala birrul walidain saat mondok pastinya tetap ada. Dengan adanya jarak yang tercipta antara Aisyah dan orang tuanya, Aisyah sedikit susah untuk menerapkan perilaku birrul walidain dalam bentuk membantu pekerjaan rumah atau membantu menyiapkan makanan, dll. Oleh karena itu, momen pulang ke rumah saat liburan menjadi hal yang berharga bagi Aisyah. Selain melepas rindu, Aisyah akan memanfaatkan momen kepulangannya ke rumah untuk membantu berberes rumah dan selalu sigap jika orang tuanya meminta tolong tentan apapun.
“Akan tetapi, dengan adanya jarak yang tercipta tidak membuatku beralasan untuk tidak menerapkan nilai-nilai dan sikap birrul walidain kepada kedua orang tuaku. Selalu mendoakannya di setiap doaku dan bersungguh-sungguh dalam menghafal Al-Qur’an menjadi caraku ber-birrul walidain kepada mereka,” imbuhnya.
Kondisi lain, sekalipun orang tua sudah meninggal dunia, jangan salah sangkal lho ya, mereka masih tetap tersambung. Dijelaskan oleh Ustaz Amin Rois bahwa anak dan orang tua itu mempunyai jalur khusus yang bahkan tidak terpotong oleh kematian. Doa anak, sedekah anak atas orang tua, haji atas nama orang tua dan lain sebagainya. “Bahkan ketika seorang anak tumbuh dewasa menjadi manusia yang baik maka biasanya lingkungan akan menyebutkan, ‘Ohhh, kae lho, Mas Fulan ki dermawan koyo bapake. Kae lho Mbak Fulanah ki sumeh koyo ibuke-Ohhh’ (Itu lho, Mas Fulan itu dermawan seperti ayahnya. Itu lho Mbak Fulanah murah senyum seperti ibunya). Maka jangan sampai pelit untuk sekadar melangkah ke makam orang tua dan terus mendoakan mereka,” pungkas Ustad Amin Rois. [Anisah Sholichah/Dimuat di majalah Smarteen cetak edisi November]