Smarteen – “Hal paling berkesan saat nyantri adalah ketika Zaim bisa dapat lingkungan yang mendukung dalam penjagaan nilai Al-Qur’an, nilai kepemimpinan, dan nilai kesederhanaan bersama teman-teman dan asatidz.” Demikian salah satu kalimat yang disampaikan Zaim Hilmi Musyaffa, alumni pondok pesantren (ponpes) yang kini sedang menempuh pendidikan di Erciyes Üniversitesi, Turki jurusan Hubungan Internasional. Pengalamannya menjadi santri membantunya mendapatkan nilai kehidupan yang tahan banting, memahami nilai loyalitas, kepekaan terhadap sesama, dan juga nilai tentang penjagaan ibadah.
“Setiap hari terutama sebelum Subuh, Zaim ke masjid buat ngapalin Al-Qur’an dan belajar. Di pagi harinya Zaim berangkat ke sekolah sampai sore. Habis salat Asar apalagi pas hujan-hujan sejuk gitu, biasanya Zaim main bola bareng temen-temen di lapangan. Kalau cuaca baru panas dan kondisi tubuh sedang capek biasanya Zaim diem aja di masjid sampai menjelang Maghrib. Nah, baru malemnya kadang Zaim suka nglembur buat ngapalin Al-Qur’an lagi bareng temen-temen. Dan yang paling berkesan nih kalo ada ustaz yang baru banyak rejeki, biasanya suka nraktir Zaim di angkringan deket pondok malem-malem,” ujar pemuda kelahiran Klaten, 20 tahun silam tersebut.
Zaim, begitu ia akrab disapa, mulai menjadi santri di Pondok Pesantren Islam Terpadu (PPIT) Al-Huda, Wonogiri pada 2019. Keputusan untuk menjadi seorang santri ini, berawal dari keinginan kedua orang tuanya. “Ada dorongan orang tua, dorongan untuk menjadikan aku sebagai anak yang mandiri, bukan hanya mandiri secara kepribadian doang, tetapi juga mandiri secara rohani,” ungkap Zaim.
Ketika menjalaninya, Zaim benar-benar bersyukur atas kesempatan nyantri di PPIT Al-Huda, Wonogiri. Menurutnya, PPIT Al-Huda tidak hanya tentang mendapatkan pendidikan agama selama beberapa tahun saja, ada juga pelajaran dan penjaringan agama seumur hidup di manapun dan kapanpun. Itu yang membuat Zaim tetap merasa terjaga meskipun jauh dari keluarga.
Melanjutkan Studi ke Turki
Terbiasa hidup mandiri, membuat Zaim mantap untuk melanjutkan studi di luar negeri, bahkan sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Awalnya Zaim ingin melanjutkan studi ke Mesir. Zaim mulai bersungguh-sungguh belajar bahasa Arab hingga mengikuti kelas khusus bahasa Arab untuk santri yang ingin kuliah di Timur Tengah. Hingga saat di kelas XII, Zaim merasa bimbang dan memutuskan konsultasi ke guru Bimbingan Konseling (BK) dan para asatidz untuk mencari arahan.
“Awalnya Zaim mikir ketika ingin menyebarluaskan kebaikan dan jadi anak sholeh itu harus selalu belajar di bidang agama terus. Akhirnya Zaim sadar bahwa kebaikan itu tidak selalu di atas mimbar masjid bre, tetapi ladang kebaikan ada di mana-mana, bisa di perladangan, di podium gedung DPR, atau bahkan di Majalah Smarteen ini bisa menjadi ladang kebaikan juga. Dan itulah salah satu alasan utama Zaim ambil jurusan Hubungan Internasional karena Zaim ingin menjadi orang yang terbuka dan dapat menjadi insan yang bisa berfikir luas. Mengapa Turki? Karena Turki memiliki standar pendidikan Eropa yang mendukung tinggi pendidikan, bukan pendidikan akademik saja tapi pendidikan kehidupan seperti adaptasi karakter, dsb. Selain itu Turki adalah salah satu negara Eropa yang mendukung nilai –nilai Islam,” ungkap Zaim.
Memetik Pengalaman Berharga
Meskipun baru tahun pertama di Turki, Zaim mendapatkan banyak pengalaman berharga. “Ada culture shock, mulai perbedaan mazhab sampai culture shock makanan Turki. Misalnya kalo di Indonesia salat Magrib kita suka ngucap ‘Aamiin’ ketika abis baca Al-Fatihah, di sini nggak ada yang ngucap ‘Aamin’. Jadi kita orang Indonesia suka ke-prank gitu. Bahkan di beberapa masjid di Turki pun nggak ngadain salat Magrib. Kaget nggak tuh ketika ada azan Magrib di masjid, tapi nggak ada jemaahnya. Nah, kalo makanan di turki zaim juga aga kurang suka, karena ya emang rasanya aneh dan hambar. Solusinya, biasanya suka beli indomie,” tutur Zaim.
Hal paling berkesan di Turki bagi Zaim adalah salju dingin, tetapi di lain sisi ada orang-orang Turki yang sangat hangat dengan orang Indonesia, sebagai negara dengan orang muslim terbanyak di dunia. Dalam pengakuan Zaim, kadang ada orang Turki yang suka berbagi sesuatu secara tiba-tiba. “Ada yang ngasih makanan, kulkas, bahkan suka ngasih uang loh. Dan orang tua di sini paling suka ndenger orang ngaji. Pernah suatu ketika Zaim disuruh ngaji di masjid habis itu dikasih makanan sama uang jadi ya Alhamdulillah kebutuhan sehari2 tercukupi terus,” ungkap Zaim.
“Selamanya kita akan menjadi bintang, yang akan bersinar pada tempatnya dan pada waktunya.” Kalimat tersebut adalah pesan dari salah satu guru yang cukup membekas bagi Zaim. Seperti pesan gurunya tersebut, Zaim tidak mempermasalahkan kapan ia akan bersinar, fokus Zaim adalah membuat Al-Qur’an bersinar di dadanya dan Allah yang akan mengatur sisanya.
Selain sibuk kuliah, mahasiswa semester dua ini, mempunyai kegiatan sampingan yaitu membantu teman-teman di Turki belajar ngaji di Komunitas Qur’an @madrasahfatih dan juga aktif dalam kesekretariatan administrasi organisasi PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Kayseri – Turki. Kelak Zaim bercita-cita menjadi guru dan bisa menerbitkan buku karyanya. Zaim bisa disapa di instagram @zaimmusyaffa. [Anisah Sholichah]