Smarteen.co.id — Bulan Oktober 2011 barangkali menjadi bulan yang tak akan terlupakan bagi Tawakkul Karman. Pasalnya, pada bulan tersebut, ia menjadi muslimah pertama di seluruh Arab, yang menerima penghargaan Nobel Perdamaian.
Jurnalis sekaligus aktivis asal Yaman tersebut senantiasa memperjuangkan hak perempuan untuk dapat berpartisipasi penuh dalam pembangunan perdamaian.
Saat itu, di Yaman masih terdapat kesenjangan ektrem dalam hal persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Kebebasan perempuan untuk hidup layak masih terbatas.
Keluarga di Yaman cenderung mengistimewakan laki-laki, sehingga muncullah kelompok-kelompok buta huruf dan kurang gizi dari kalangan perempuan.
Pemerintah di sana juga memperbolehkan warganya untuk menikahi anak-anak perempuan di bawah 17 tahun sesuai undang-undang yang berlaku. Hal inilah yang kemudian membuka hati Karman untuk memperjuangkan hak kaum perempuan.
“Perempuan harus berhenti menjadi atau merasa bahwa mereka adalah bagian dari masalah. Kami telah terpinggirkan untuk waktu yang lama dan sekarang adalah waktunya bagi perempuan untuk berdiri dan menjadi aktif. Ini satu-satunya cara untuk memberikan potensi kita pada masyarakat Yaman,” ujar Karman saat memberi nasihat kepada para muslimah.
Perjuangkan Hak Perempuan dan Lawan Diktator
Perjuangan Karman untuk meningkatkan derajat hidup perempuan di Yaman dilakukan dengan berbagai cara. Sebagai jurnalis, lulusan Ilmu Politik Universitas Sana’a Yaman ini pun banyak membuat ulasan yang mengkritik pemerintah terkait kebijakannya terhadap perempuan.
Ia juga secara rutin melakukan aksi unjuk rasa sejak 2005. Selain untuk memperjuangkan hak perempuan, aksi ini juga ia lakukan dalam rangka menuntut kebebasan pers yang terkungkung di bawah rezim diktator.
Usahanya tak sia-sia. Walau terkesan mustahil, seorang perempuan dan ibu muda hendak menggulingkan pemerintah yang berkuasa selama puluhan tahun. Namun kenyataannya, perjuangan yang didukung banyak pihak tersebut akhirnya mencapai puncak. Presiden Yaman yang terkenal diktator berhasil dilengserkan.
BACA JUGA: Aziz Sancar, Ilmuwan Muslim Modern Peraih Nobel Kimia
Namun, semuanya tak berjalan semulus perkiraan kita. Ada banyak kejadian yang menimpa Karman dalam melakukan aksinya. Yang terparah, perempuan kelahiran Mekhlaf, Yaman, 7 Februari 1979 tersebut hampir menjadi korban pembunuhan.
Hal ini bermula dari berbagai aktivitas dan sepak terjang Karman dalam dunia sosial politik yang membuat banyak orang tidak menyukainya. Akhirnya, banyak pihak yang mencoba membunuhnya.
Pasrahkan Hidup Hanya kepada Allah
Hal tersebut tak membuat Karman gentar. Sebagai muslimah, ia memasrahkan hidupnya kepada Allah. Sehingga, selama perbuatannya benar, ia akan terus maju.
Pada 2010, ia lolos dari maut ketika seorang pembunuh berusaha menikamnya dengan belati tradisional. Karman mengatakan banyak pendukungnya yang membantu ia bertahan dari serangan tersebut.
Berbagai percobaan pembunuhan lain pun silih berganti menghampiri Karman, tetapi ia selalu selamat. Selain itu, ibu tiga orang anak ini pun berkali-kali dijebloskan ke penjara oleh oknum yang tak suka dengan aksinya.
BACA JUGA: Profil Ali Banat, Pemuda yang Sumbangkan Seluruh Harta Sebelum Meninggal Dunia
Mendapat berbagai perlakukan buruk, tak membuat Karman berusaha untuk membalasnya dengan kekerasan. Perjuangnnya untuk menuntut persamaan hak, dan sebagainya, senantiasa dilakukan dengan menjunjung tinggi rasa perdamaian. Ia ingin tuntutannya terpenuhi tanpa harus menyakiti pihak mana pun.
Akhirnya, sikap anti-kekerasan inilah yang membuat Komite Nobel menganugerahinya penghargaan Nobel Perdamaian bersama dengan dua orang perempuan lainnya, Ellen Johnson-Sirleaf dan Leymah Gbowee (dari Liberia). [Ibnu Majah/Dari Berbagai Sumber]