Smarteen.co.id — Kata orang, saat SMA kita bisa menemukan jati diri kita. Bukan berarti selama ini aku tidak punya jati diri, hanya saja, aku tak bisa berdamai dengannya. Bertahun-tahun aku hidup dengan jati diri pemberian orang lain, yaitu sebagai bayangan Rindai.
Rindai, satu nama yang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Kecantikan, kebaikan hati, kepintaran, bakat bermusik, hidup yang indah dan menyenangkan.
Hanya karena lahir beberapa menit setelah Rindai, aku tidak mendapat apa-apa. Wajah yang tidak seberapa dibanding Rindai, otak yang tidak ada apa-apanya, hidup yang monoton. Hanya hitam putih yang dapat kurasakan, begitu pula yang kulihat. Monokrom.
Ya, aku memang terlahir dalam keadaan menderita buta warna total. Kasus yang sangat jarang terjadi, apalagi untuk seorang perempuan. Dengan perbandingan 0,00003 persen di seluruh dunia.
Itulah mengapa masa SMA sangat kutunggu. Saat di mana aku bisa lepas dari Rindai dan menjadi orang yang baru. Semoga.
Sayangnya, yang disemogakan tidak selalu tersemogakan. Ibu ternyata mendaftarkan Rindai ke sekolah yang sama denganku. Ingin membantah keputusan ibu, tetapi aku tak pernah tega melakukannya.
Minta Rindai untuk membujuk Ibu? Nggak minat, sudah kira-kira satu tahun aku tidak berbicara dengannya. Walaupun kita serumah, dan bahkan sekamar. Ada hal-hal yang membentengi kami. Mungkin aku yang membangun benteng itu dan kelebihan Rindai yang mengokohkannya.
Namun, sekuat apa pun benteng akan tertembus juga jika terus-menerus digempur. Hari itu, aku kabur dari sekolah. Menangis. Tak kuasa lagi menahan bisik-bisik sepanjang koridor, jari-jari telunjuk yang terus mengarahku lalu ke Rindai—membandingkan, dengusan meremehkan, wajah-wajah menyebalkan mereka. Prinsip let it go and let it flow ternyata tidak terlalu manjur. Tetap saja hatiku terusik, sudah terlalu lama aku mencoba tidak peduli.
BACA JUGA: CERPEN REMAJA: Senja dan Harapan Karya Fatimah Novi Hanggrahini
Aku pun pulang ke rumah dengan basah kuyup. Entah Karena air mata atau hujan. Tidak peduli. Lelah. Lega.
Aku terduduk di balkon kamar, memandang langit sehabis hujan. Sederhana dan menenangkan. Kubiarkan pikiranku melayang. Hingga ketukan halus pintu kamar memecah lamunanku. Kembali ke dunia nyata.
Tidak perlu kuberbalik untuk melihat siapa yang datang. Pasti ibu. Orang yang selalu mengerti aku di dunia nyata maupun khayalanku. Orang yang tidak pernah berbisik-bisik tentangku, dan yang terpenting tidak pernah membandingkanku dengan Rindai—orang yang membuatku seperti ini.
Benar, itu ibu. Sekarang ia berdiri di sampingku. Kami saling diam. Detik berlalu, dan kami masih hanyut dalam pikiran masing-masing. Menit berlalu, dan kami mulai menyadari posisi masing-masing dalam situasi ini.
“Kamu tau, Nak, apa hal terindah di dunia ini?” Ibu membuka percakapan.
“Rindai,” jawabku singkat.
“Tidak mencoba menjawab pelangi?” sambungnya.
“Hanya kelabu bagiku,” sahutku, masih singkat.
Ibu tersenyum, “Kalau hal yang paling hebat?” tanyanya lagi.
“Rindai,” nada bicaraku masih sama seperti sebelumnya, sedikit kesal.
“Tidak tertarik dengan gunung?” lanjut ibu, dan aku mulai gerah dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini.
“Terlalu tinggi untuk dicapai, Bu!” nada bicaraku sedikit naik.
Ibu menghela napas dan melanjutkan, “Yang paling indah dan hebat adalah orang yang bisa menerima dirinya apa adanya, Sayang.”
“Bukan aku kalau begitu,” kataku, merendahkan diri.
“Apa salahnya? Kenapa kamu tidak merasa begitu?” lanjut ibuku.
“Karena aku bukan Rindai, yang punya banyak hal luar biasa yang dengan senang hati akan aku terima.”
Mendengar itu, ibu tersenyum lemah. “Maka terimalah yang kamu punya,” ucapnya. Aku pun terdiam.
“Terimalah, dan kamu tidak perlu iri terhadap orang lain,” Ibu melanjutkan.
“Walau berat?” protesku.
“Walau berat, bahkan menyakitkan.”
“Kalaupun aku menerimanya, apa mereka bisa menerimanya? Apa mereka berhenti membicarakanku, berhenti membandingkanku dengan Rindai?”
“Ya dan tidak.” Ibu memberi jawaban yang tidak jelas. Abu-abu, seperti warna dunia di mataku. Aku tak mengerti, dan tidak berniat untuk mencari tahu. Aku hanya mendengus kesal karena percakapan tak berujung ini.
BACA JUGA: CERPEN: Sosok Inspirasi?
“Karena setiap orang punya pendapatnya masing-masing. Cukup dengarkan mereka, dan jangan lupa untuk beranjak. Katakan dengan baik kalau kamu tidak setuju pendapat mereka,” tiba-tiba ibu menjelaskan sendiri ucapannya. Aku masih terdiam, mencoba meresapi makna percakapan ini.
“Kamu tau apa masalahmu? Kamu terlalu sibuk mengagumi keindahan orang lain, dan lupa akan dirimu sendiri. Jadi, mulailah hidup menjadi dirimu sendiri. Ingat, lukisan satu warna itu tidak selalu jelek. Kadang, itu justru yang paling bagus untuk menceritakan semuanya.” []
Oleh:
Vatikha Fauziah
SMAN 1 Wonosari, Gunungkidul