cerpen remaja islam

Cerpen Remaja Tentang Kehidupan Sekolah oleh Aksal Syah Falah

Smarteen.co.id — Derit suara pintu kayu bercat biru terdengar nyaring dalam kesunyian. Seorang anak muda nampak keluar dari sebuah ruangan. Tangannya menggenggam secarik kertas yang nampak kusut. Sekusut wajahnya yang tertunduk memandangi lantai. Beberapa senti di atas tubuhnya yang lumayan tinggi itu tergantung sebuah papan nama bertuliskan ‘Ruang Guru’.

Pada bentang langit yang digurat jingga, awan-awan berarak pelan, seolah malas menuruti kemauan angin yang terus menggiring mereka ke utara. Membawa sisa-sisa benih air yang sebagian sudah terjatuh di sisi selatan pulau.

Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian.

Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

Dhiyaud pikir pepatah itu hanyalah omong kosong belaka. Namun ternyata, hanya dia yang terlalu naif memandang kehidupan ini. Terlalu menganggap enteng semua hal.

Selagi masih muda, kenapa kita tidak bersenang-senang dulu saja?

Kalimat itu sering ia dengung-dengungkan, baik di lisan dan terkadang…di hati. Semua itu tak lain dan tak bukan hanya demi membenarkan semua perilakunya yang cenderung menabrak pagar-pagar aturan yang ada. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia tahu kalau semua itu salah. Ia tahu itu.

“Kau tahu, tapi kau sama sekali tidak memahaminya.” Kata nuraninya dingin dan menusuk.

cerpen remaja islam

***

Tertegun. Dalam keadaan seperti itu, aku mendapatinya. Terbengong di depan kantor dengan pandangan kosong. Aku mencoba menyapanya, “Dhiyaud?”

Pemuda itu hanya membeku, seolah kelima indranya mengalami malfungsi. Rasanya aku seperti sedang menyapa batu saja. Kutepuk lembut bahunya dan pemuda itu pun terkesiap, seperti orang yang baru saja bangun tidur.

Ia menatapku, menyadari kehadiranku. Disebutnya namaku pelan dengan wajah sano.

Yo, selamat datang di realitas.”

Ia memandangku dengan wajah tolol. “Kenapa kau datang ke sekolah sore-sore begini? Bukankah tadi kau sudah pulang?”

Aku mengangguk. “Ada barang yang tertinggal.”

“Buku?” tebaknya.

Menggeleng, “Bukan, tulang rusukku.”

Kami berdua tertawa lepas. Kulihat remah-remah cua di wajahnya mulai rontok. Genggamannya pada kertas mulai mengendur.

“Kau baru saja dari kantor?” aku bertanya.

Dhiyaud mengangguk, namun membiarkan mulutnya membisu. “Ayo pergi!”

Kami berdua berjalan meninggalkan teras kantor. Menapaki lapangan sekolah yang laksana padang pasir. Kering dan berdebu. Meski sekarang sudah musim penghujan, namun sudah sepekan ini langit belum berbaik hati mendermakan airnya di kota kami. Membiarkan tanah dan aspal jalanan mengering ditelan waktu.

Hal yang sama kulihat di wajah Dhiyaud.

Hei, apa kau sering buang air?” aku bertanya. Pertanyaan yang aneh memang.

“Bukankah kau yang sering buang air?” Alih-alih menjawab, ia menyerangku balik dengan pertanyaan retorik. Aku tergagap sejenak, “Oke, kuganti pertanyaanku. Kau pernah buang air, tidak?”

“Ya tentu saja pernah.” Dhiyaud menatapku. “Kenapa kau tiba-tiba bertanya begitu?”

BACA JUGA: CERPEN REMAJA ISLAMI: Bintang Pesantren Oleh Luthfiah Nabiila

Aku hanya mengedikkan bahu. “Apa kau suka buang air?”

“Mau tak mau aku harus melakukannya, bukan?” sahut Dhiyaud, mengembalikan pertanyaan.

“Bukankah kau bisa saja menahannya?”

“Ya nanti aku sendiri yang sakit.” Jawabnya dengan wajah berpikir. Sepertinya ia sedang mencoba menebak ke mana muara pembicaraan ini.

“Kalau begitu, berarti kau terpaksa buang air demi kebaikan dirimu sendiri, kan?”

Yah…bisa dibilang begitu sih. Omong-omong kenapa kau—” langkahnya tersangkut udara. Sepertinya ia sudah tahu apa maksudku. Ya, aku memang mengarahkan pembicaraan aneh ini ke sana. Aku tahu, Dhiyaud hendak melarikan diri dari kenyataan ini. Ia berusaha meninggalkan sekolah kami, sekolah yang telah ia tempati selama dua tahun ini—bukan, dua tahun lebih tepatnya. Alasannya? Ah, hanya Dhiyaud dan Tuhan yang tahu. Aku tahu orang ini menyimpan banyak masalah, tapi aku tak pernah tahu detailnya—lebih tepatnya tak ingin terlalu mencampuri urusannya.

“Kau sudah menahannya dua tahun. Lebih dari dua belas tahun bila dihitung sejak TK. Begitu berat dan melelahkan memang, terkadang juga menyebalkan. Tapi kau sudah tahu, kan? Semua itu demi kebaikanmu sendiri,” ucapku.

“Dan sekarang kau terbentur dinding yang begitu tinggi. Daripada memikirkan terbuat dari apa dinding itu, lebih baik menggunakan satu semestermu yang terakhir nanti untuk merobohkannya, memperbaiki semua kesalahanmu, dan mengakhirinya dengan baik.” Hanya ini yang bisa kusampaikan. Aku tak mau menghakiminya, aku tahu betul bagaimana rasanya menjalani realitas hidup yang berat ini. Masalahku juga banyak, tapi setidaknya aku akan tetap bertahan untuk sekolah di sini. Apa yang telah kumulai, akan kuakhiri dengan baik. Kuharap, Dhiyaud juga dapat melakukannya.

BACA JUGA: CERPEN Remaja tentang Perjuangan: Jangan Menyerah, Aulia! oleh Ika Amalia

Pemuda itu terdiam cukup lama. Berusaha meresapi. Kemudian ia tersenyum, “Aku tidak begitu mengerti, tapi intinya, terima kasih, kawan.”

Aku kembali mengedikkan bahu kemudian mendongak, memandangi lembayung di langit. “Sudah menjadi tugas seorang kawan untuk saling mengingatkan. Dan omong-omong, kau berutang segelas es teh untuk kata-kata itu, Bos.”

Dhiyaud tertawa, “Dengan senang hati.”

***

Kedua pemuda itu memandangi momen senja yang begitu indah, bersisian dalam diam. Masing-masing membenak. “Semester depan, akulah yang akan menjadi juara!” []

Oleh:
Aksal Syah Falah
SMKIT Smart Informatika Surakarta

About Ibnu Majah

Check Also

Aku Bisa Menggapai Mimpi

Kisah Nyata: Aku Bisa Menggapai Mimpiku

Smarteen.co.id – Sebenarnya aku tak pernah menyangka untuk bersekolah di sekolah swasta yang menjadi sekolahku …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *