Smarteen.co.id — Pernah mengalami fase hidup terpuruk, nyatanya tak membuat seseorang kehilangan mimpi. Inilah yang dialami Sobat berprestasi asal SMAN 3 Demak, Syifaul Ummah. Pelajar kelas XII MIPA itu sempat hampir menanggalkan impiannya.
Ketika ia duduk di kelas IX SMP, ayahnya sakit parah. Hal ini membuat kondisi ekonomi keluarganya tidak baik. “Saat itu saya sempat berpikir untuk tidak melanjutkan ke SMA,” kisah remaja 17 tahun itu. Namun, Allah berkehendak lain. Syifa mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi.
Saat kelas X, kondisi Syifa masih terpuruk. Hingga suatu hari, guru pembimbing Karya Ilmiah Remaja (KIR) memberinya nasihat. Ia meminta Syifa agar tak terlalu memikirkan masalah keluarga. “Itu sudah jalan Allah, kamu berusaha saja yang terbaik di sekolah, tunjukkan kalau kamu bisa sukses. Itu akan membuat orang tua bangga, dan insya Allah bisa membuat kesehatan orang tua jadi lebih baik,” ucap Syifa menirukan nasihat guru pembimbing.
Dari situ, siswi kelahiran Demak, 5 Maret 2001 ini pun memperbaiki diri. Ia mulai aktif di berbagai kegiatan dan mengikuti beragam kompetisi.
Seiring berjalannya waktu, Syifa berhasil mengharumkan nama sekolah dengan segudang prestasi. Pada tahun 2018 misalnya, putri pasangan Samian dan Kasturi ini berhasil menyabet Juara I Lomba Dongeng Bahasa Jawa, Juara I Lomba Story Telling, Juara II Lomba Karya Tulis Ilmiah. Semuanya di tingkat provinsi.
Tahun sebelumnya, bungsu dari tiga bersaudara ini bahkan pernah menyabet Juara II Lomba Story Telling tingkat Nasional, dan berbagai kejuaraan lain. Baginya, mengikuti kompetisi adalah upaya untuk menemukan jati diri. “Saya ikut lomba agar tahu sebenarnya bakat saya itu apa. Jadi, misal ada kesempatan, meski bukan di bidang yang saya kuasai, tetap saya coba. Kalau hasilnya sukses, bisa dilanjutkan. Kalau gagal, tidak cocok, atau ada kesalahan, berarti perlu diperbaiki,” jelas Syifa.
Namun, setiap perjuangan tentu perlu pengorbanan. Pun bagi Syifa. Demi mengikuti kompetisi, ia harus merelakan waktu luangnya untuk berlatih dan menyelesaikan karya. “Kalau story telling, saya bisa latihan sepulang sekolah. Kalau karya tulis biasanya sampai bergadang buat menyelesaikannya,” kata remaja yang ingin menjadi dosen ini.
Selain itu, agar tak ketinggalan pelajaran karena kerap meninggalkan kelas saat perlombaan, Syifa menyiasati dengan bertanya pada teman-teman, sekaligus menghubungi guru untuk menyelesaikan tugas yang ia lewatkan. “Kalau karya tulis kebanyakan saya menang. Jadi rasa capek tertutup oleh hasil kesuksesan itu. Alhamdulillah kondisi orang tua juga semakin baik,” pungkasnya. [Ibnu Majah]