Endometriosis

KISAH NYATA: Divonis Endometriosis, Aku Berusaha Tetap Mensyukuri Ujian Ini

Smarteen.co.id — “Setelah semua pemeriksaan, USG, dan lain-lain. Mohon maaf, Bu, putri Ibu, Nona Sarah, menderita endometriosis.” Wajah mami yang awalnya terlihat tenang seketika berubah terkejut, seperti habis mendengar petir di siang bolong. Sedangkan aku biasa saja.

Saat itu aku menganggap, “Oh, cuma endometriosis.” Sama sekali tidak merasa itu penyakit berbahaya, karena aku memang belum pernah mendengar nama penyakit itu.

“Jadi, langkah baiknya gimana, Dok?” mami bertanya, terdengar nada khawatir di sana.

Dokter sambil mengamati hasil USG-ku, menjawab dengan berat hati, “Kalau dilihat, agar tidak semakin parah, ya baiknya dioperasi, Bu. Tapi saya tidak merekomendasikan operasi, karena Nona Sarah masih gadis, belum menikah. Justru besar risikonya jika dioperasi.”

Aku sudah tidak mendengarkan perkataan dokter. Hanya satu yang terngiang di pikiranku. Operasi. Berarti ini bukan penyakit ringan. Hey, ada apa ini?

“Apa tidak ada selain operasi?” tentu mami keberatan, dari nada suaranya saja aku bisa tahu.

Dokter berpikir sebentar, “Saya tidak berani ambil tindakan lain, Bu. Saya rujuk ke rumah sakit ini saja, Bu. Di sana ada profesor ini, yang lebih ahli dalam hal ini.” Dokter menyarankan rumah sakit lain, rumah sakit yang setahuku hanya kalangan menengah ke atas saja yang berobat ke sana.

Aku mengeluh dalam hati. Profesor? Habis berapa aku berobat ke sana? Tapi mami menerima saran dokter itu. Tidak mau berisiko dengan operasi.

Endometriosis

***

Pengobatan dengan profesor, yang membuat habis banyak biaya, juga semakin membuatku menderita. Sekali kontrol saja, bisa habis biaya yang setara dengan 2 bulan SPP-ku. Belum lagi tambahan obat-obatan lain.

Awalnya aku menahan diri untuk tidak mencari tahu tentang sakitku. Lama-lama, aku jadi penasaran karena bingung dengan semua pengobatanku. Aku mencari tahu apa sebenarnya endometriosis itu, dan hasilnya?

Aku semakin putus asa. Rasanya kayak mau mati saja.

Namun mami tidak. Dibawanya lagi aku ke dokter-dokter lain. Hanya satu di benaknya, “Anakku harus sembuh. Sarah bisa sembuh. Meski dengan kecil kemungkinan.”

Dengan berurai air mata, putus asa, dan bingung harus berbagi rasa sakit ini pada siapa, aku menulis surat untuk sahabat-sahabatku di SMP dulu. Dan tanpa kuduga, mereka datang menjenguk saat aku sedang kontrol. Azka, Fathin, Yasmin, Ustazah Zula, dan Ustazah Tyas. Makasih banget.

BACA JUGA: KISAH NYATA: Curhat Siswa tentang Kebijakan Zonasi Sekolah; Sempat Merasa Hancur, Hingga Berakhir dengan Rasa Syukur

Belum lama kebahagiaan itu, mami memberitahuku, “Mbak, nanti obatnya diganti jamu saja gimana?”

Aku mengiyakan saja. Kupikir cuma jamu biasa. Ternyata, aku bahkan harus sampai menangis tiap minum jamu itu.

Tidak bisa makan berhari-hari, badan lemas. Mami sampai membelikan banyak snack agar aku mau makan, meski tak ada yang kusentuh.

Itu satu tahun lalu. Saat aku baru menjejak kelas X. Sekarang aku berhenti berobat. Rasa sakit itu masih sering mendera karena aku memang belum sembuh. Air mataku masih sering mengalir. Namun aku percaya, Allah kasih ujian karena tahu hamba-Nya mampu.

BACA JUGA: KISAH NYATA: Menentukan Pilihan Saat Prioritasku Ada Dua

“Mbak Sarah, besok lulus SMA vakum dulu setahun, gimana?”

“Kenapa, Mi? Terus aku kuliahnya tahun depannya?”

“Mami penginnya kamu pengobatan dulu sampai sembuh. Nggak pa-pa kok, kuliahnya ditunda dulu setahun.”

“Iya deh, Mi. Enggak papa.”

Sobat, penderita endometriosis kecil kemungkinan bisa memiliki keturunan. Aku teringat artikel yang pernah kubaca tentang sakitku. But, everything will be fine. Ingat, Sar, ujian itu untuk disyukuri. []

Oleh: Sarah, Magelang

About Ibnu Majah

Check Also

Aku Bisa Menggapai Mimpi

Kisah Nyata: Aku Bisa Menggapai Mimpiku

Smarteen.co.id – Sebenarnya aku tak pernah menyangka untuk bersekolah di sekolah swasta yang menjadi sekolahku …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *