Smarteen.co.id — Aku suka menjalani dua kegiatanku. Membagi waktuku untuk keduanya. Semua mengajarkanku untuk bertukar pikiran, berbagi cerita, meramu kata di depan umum, memecahkan masalah, dan aku menyukainya.
Keduanya berjalan seperti apa adanya. Hingga masalah demi masalah kecil menghampiri. Awalnya, aku masih bisa mempertahankan benteng pertahananku. Aku masih merasa kokoh bak tiang penyangga istana.
Namun, suatu ketika keduanya menyudutkanku dalam ruang tak berpintu. Mereka menghakimiku. Mengambil alih diriku atas haknya terhadap waktu dan sempatku.
Aku memang salah, tak pandai membagi waktu dan sempat. Namun mereka juga salah, memaksaku untuk memberikan haknya atas diriku yang hanya sebutir debu, sedangkan aku sedang berusaha membaginya.
Mencoba memahami dan mengerti seseorang, apakah itu terlalu berat?
Aku kembali berpikir. Bukan tentang apa yang diberikan organisasi untukku, melainkan apa yang telah kuberikan untuknya. Mereka bilang, aku harus memprioritaskan salah satu.
Namun, hatiku bersikeras bahwa tak ada yang lebih pantas kuprioritaskan karena keduanya istimewa. Keduanya mengajarkanku bagaimana caranya berjuang dengan baik, bagaimana caranya bertindak dengan benar, dan bagaimana caranya mengambil keputusan dengan tepat. Tak ada yang pantas kuprioritaskan karena kedudukanku di keduanya adalah sama, sebagai ketua.
BACA JUGA: Menentukan Amal Prioritas untuk “Menebus” Pintu Surga
Mungkin banyak dari mereka yang tak tahu benar posisiku, lantas dengan mudah mengambil kesimpulan bahwa aku tak bertanggung jawab. Dari sini aku kembali berpikir bahwa orang menilai dengan apa yang mereka lihat, tanpa meluangkan sedikit waktu untuk membuktikan kebenarannya. Memang, semua tergantung bagaimana hatiku menerima komentar mereka.
Banyak pelajaran berharga yang kudapat dari berorganisasi. Dari segala rintangan dan hambatan yang menghadang, sebenarnya ada bumbu-bumbu keharmonisan yang tercipta. Dari tak kenal menjadi kenal. Dari tak akrab menjadi akrab. Dari teman menjadi sahabat, kemudian terikat rasa persaudaraan.
Ada kalanya masalah datang, tapi juga ada kalanya aku kembali menggelar tawa bahagia bersama mereka. Tidak selamanya manis, tapi juga tidak selamanya pahit. Semua tergantung bagaimana caranya memaknai hidup.
Kunci utamanya adalah ikhlas. Aku selalu belajar melakukan apa yang menjadi tugas dalam organisasi dengan senang hati. Tidak banyak berkomentar negatif dan tidak pula terlena dengan komentar positif.
Bukan berarti aku tak boleh mengeluh, hanya saja aku sedang mencoba menahan keluh kesah untuk mendapatkan rida-Nya. Tak banyak mengeluh, tak banyak mengadu, karena sebuah usaha untuk mencapai hasil memang butuh perjuangan yang besar.
Memang, tidak banyak yang sanggup melaluinya. Maka, jadilah salah satunya. Itu mimpiku. Usahaku adalah membuatnya bersemi bersamaan dengan mereka yang turut berjuang bersamaku. Tak perlu meminta belas kasih seseorang, cukup berserah diri pada-Nya. insyaallah, semua yang diniatkan Lillah akan menjadi berkah.[]
Oleh:
Ninda Riska Amiati
SMAN 1 Pemalang